Minggu, 01 Februari 2009

Simbol Leluhur Tersimpan di Pakaian, Tarian, dan Betang

Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa leluhur masyarakat Kalimantan Tengah adalah pengembara tangguh asal Provinsi Yunan (China). Asimilasi ratusan tahun ini tumbuh menjadi komunitas masyarakat modern. Dari perkembangan peradaban itu, seluk-beluk kehidupan lainnya juga ikut dinamis, seperti menyangkut tata busana, kesenian, alat persenjataan, upacara tradisional, hingga sampai kepada perubahan arsitektur.
Dari sisi berpakaian, misalnya, penduduk asli suku Dayak Kalimantan Tengah sudah banyak mengalami perubahan dari pakaian adat aslinya yang biasa menggunakan ikat kepala yang dihiasi bulu burung enggang. Selain itu mereka memakai "penyang" berupa ikat pinggang yang digantungi taring-taring harimau atau manik-manik yang menghiasi leher.
Kesenian modern sudah bercampur baur di antara kekayaan khasanah kesenian tradisional setempat. Dari sudut seni tari misalnya, betapa indahnya tari "geger ketingan," yang merupakan tarian kaum remaja, atau tari "enggang terbang" sebagai simbol menghormati nenek moyang mereka.

Kemudian ada lagi tari "garunuhing" yang mencerminkan rasa syukur atau tari "giring-giring" yang biasa dipersembahkan setiap penerima tamu, selain tari-tarian lainnya seperti "jepen", "kanyan halu", "kinyah kayau", "kinyak kambe", "laluhan", "manambang pangkalima" atau tarian sakral berupa tari "balian bawo," yang biasanya dipersembahkan pada saat upacara penyembuhan orang sakit.
Simbol kebudayaan leluhur Dayak juga dapat dilihat dari sudut alat persenjataan. Senjata Mandau yang dahulunya sering memiliki unsur magis karena memiliki legenda sebagai alat perang, alat serbu, dan alat memotong kepala manusia dalam kegiatan "ngayau", merupakan sebagian warisan yang hingga kini masih terpelihara oleh kebanyakan warga setempat, selain senjata "sumpit" yang biasanya memiliki anak sumpit beracun (damak pimpin), tombak, dan perisai.
Dari rangkaian perkembangan kebudayaan suku Dayak di Kalimantan Tengah, dari segi arsitektur merupakan sesuatu objek sangat menarik untuk disimak. Unsur-unsur matematis, estetika, seni, dan keamanan terlihat mudah pada sebuah arsitektur bangunan rumah "betang" yang kini masih banyak dijumpai di perkampungan.
Terbuat dari material kayu yang kuat dan pilihan guna menopang sebagai tempat tinggal keluarga besar suku dayak. Rumah "betang" biasanya berbentuk ru dengan panjang 63 depa beratap sirap dengan lebar 10 depa serta ketinggian lantai dari permukaan tanah sekitar tiga meter. Segala ornamen, anak tangga, bahkan hitungan kasau sekalipun benar-benar harus detail memenuhi persyararatan baku agar penghuninya tetap sehat walafiat dan makmur.

Di antara bagian bangunan rumah adat itu, terdapat ruang yang disebut sebagai "batang huma," yaitu ruangan yang luas untuk mereka berkumpul dan mendiskusikan segala kebutuhan hidup keluarga dan komunitasnya. Dari sinilah dipercaya lahir ide dan perspektif baru tentang kemajuan peradaban suku Dayak.
Dari sinilah mereka mampu bertahan dan beradaptasi dengan perkembangan bangsa dan negara Republik Indonesia dan dari sinilah mereka membangun komunitas baru melalui pendekatan administratif kampung, kabupaten, dan provinsi tanpa harus meninggalkan warisan budaya nenek moyang.
Kecintaan warga terhadap negara ini terlihat dari banyaknya simbol yang diwujudkan di berbagai sudut kota. Di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya misalnya, sebuah tulisan kusam terpampang di mulut area perdagangan dengan kalimat sederhana "kutata, kubangun, dan kujaga". Itu bukan sekadar barang mati, karena tulisan itu adalah pesan dahsyat yang mengilhami kemajuan Kalimantan Tengah.

2 komentar: